“Namanya Mia Grace, dia mendapat gelar sarjana dari universitas ternama di Perancis. Namanya memang baru di dunia fashion stylist, namun namanya telah banyak dibicarakan karena kepiawaiannya dalam mengatur pakaian untuk setiap kliennya, bahkan Mia pernah menjadi stylist Riana Gray untuk acara fashion red carpet dan berhasil menjadi bahan pembicaraan selama berbulan-bulan. Saya rasa dia kandidat terkuat sejauh ini dari tiga yang terbaik, Sir.”
Wajah pria yang terlihat semakin matang di usia 29 tahun itu masih kaku sejak mengambil dan mengamati berkas dengan nama pemilik Mia Grace. Nala yang menjelaskan profil singkat Mia pun hanya bisa berdiam dan menunggu perintah selanjutnya dari atasannya tersebut.
“Saya akan meninjau ulang dan mengabarimu setelah saya membuat keputusan,” ucap Mike dengan datar.
Nala mengangguk, dia lantas melangkah keluar, meninggalkan Mike seorang diri di ruangannya yang terasa nyaman dengan warna coklat khas kayu yang mendominasi. Sesaat setelah Nala pergi dari ruangan Mike, laki-laki dengan manik mata berwarna coklat gelap mengerang resah sembari meremas lembaran kertas yang ada di genggaman tangan.
“Setelah sepuluh tahun, she’s coming back?” lirihnya dengan mata melirik foto seorang perempuan dengan tampilan formal, namun tidak terkesan kaku. Mia terlihat semakin cantik dan dewasa dari terakhir yang Mike lihat, dengan garis senyum yang masih sama.
Mike meletakkan berkas tersebut setelah selesai membaca setiap lembar halaman yang telah disatukan. Mike duduk bersandar sembari memijat kepalanya secara perlahan dengan kedua kelopak mata yang tertutup.
***
Gemerlap lampu tempat hiburan malam semakin bergerak cepat mengikuti tempo lagu yang sedang dimainkan oleh DJ di atas panggung. Semua orang pun semakin larut dalam permainan musik itu, menggerakkan tubuh mereka tanpa peduli jika jam dinding telah menunjukkan p u k u l dua dini hari.
“Sekarang lo mau ngapain? Balas dendam?”
Di salah satu sofa yang ada tak jauh dari dance floor, dua orang pria sedang berbicara dengan beberapa perempuan yang duduk di sekitar mereka, atau di atas pangkuan mereka. Tak ada wajah canggung sedikit pun saat paha mereka diduduki perempuan lain, bahkan tangan mereka tak segan menyentuh paha perempuan itu.
“Hell, yeah! Gue awalnya nggak ada niatan kayak gitu, nah, ada cuma gue nggak terlalu pengen. Tapi karena dia datang sendiri, gue bakal ladenin. Gue denger dia juga udah jatuh miskin, ‘kan? Makin gampang gue setir nanti.”
“Yoi, bokapnya udah m a t i, nyokapnya juga pergi ninggalin dia sendiri sekarang. Tapi dia udah punya pacar, anak konglo. Gue rasa lo kenal. Dari foto-foto yang tersebar sama artikel yang ada, pacarnya kelihatan posesif banget, dari tingkah sama tatapannya. Lo yakin sama rencana lo tadi? ”
“Hm, gue udah baca data yang lo kirim tadi. Nggak masalah buat gue, mau pacar dia anak konglomerat atau pejabat sekali pun, posesif atau nggak, dengan dia berani muncul dihadapan gue lagi, itu artinya dia udah berani terima semua konsekuensinya.”
“Bagi-bagi, Mike. Gue udah bantu lo cari data dia, icip bolehlah,” ucapnya, disusul oleh tawa penuh arti.
“Tinggal atur waktu,” jawab Mike dengan santai.
Pria dengan wajah yang terlihat good man itu tak lebih hanya seorang pria dengan otak selangkngan. Pram, dia seorang pemilik klub yang saat ini sedang mereka tempati, juga seorang hacker dengan kehidupan santai, namun terjamin.
“Kalau gitu, gue nge-room dulu. Udah becek banget dia. Padahal gue cuma fingering, emang dasarnya murahan, jadi cepet banget becek,” ucap Pram dengan menepuk paha dalam perempuan yang sedang duduk mengangkang di pangkuannya. Perempuan yang ada di pangkuannya itu pun tak menunjukkan wajah kesal, melainkan menunjukkan wajah yang terlihat seperti menikmati perlakuan Pram pada tubuhnya.
“Gue nyusul nanti,” sahut Mike.
Mike kembali duduk dengan tenang setelah Pram bersama partnernya berlalu pergi, juga setelah dia mengusir semua perempuan yang ada di sekitarnya. Mike bukan laki-laki baik yang tak pernah menyentuh perempuan, hanya saja ada saat di mana laki-laki pemilik bibir seksi yang penuh itu merasa ingin menikmati dentuman musik tempat hiburan malam seorang diri.
Sembari menikmati sloki berisi bir, kedua mata Mike terpaku di titik yang sama. Seorang perempuan dengan mini skirt juga tanktop hitam sedang bercumbu dengan seorang pria di antara lautan manusia yang sedang menikmati dentuman musik club malam.
“Mia Grace,” gumam Mike, memainkan jari kirinya di tepian sofa dengan tangan kanan memegang gelas sloki berisi bir.
“Gue akan buat lo lebih dari kata hancur, Sayang. Lo akan terima balasan atas semua hal yang lo lakuin sama gue dulu.”
***
“Lo mau ke mana?” tanya Willy yang baru saja bangun tidur dan menemukan Mia yang berdiri di depan kaca dengan penampilan rapi.
“Bukannya aku udah bilang kalau aku melamar pekerjaan untuk jadi personal fashion stylist? Hari ini aku diminta untuk bertemu dengannya,” jawab Mia dengan memasang anting di telinga.
“Lo nggak salah? Ini weekend.”
Mia berbalik setelah selesai dengan riasan wajah, tatanan rambut dan aksesoris yang sengaja dia pakai untuk menunjang penampilannya. “Nggak, kok. Mereka emang sengaja ngelakuin di hari libur karena ini bukan pertemuan formal. Bukan untuk posisi formal di kantor. Dan aku juga cuma handle satu orang aja. Nanti cuma tanda tangan kontrak terus paling ngobrol sebentar buat aku nentuin fashion jenis apa yang cocok buat dia.”
“Oh! Sayang banget, gue butuh morning s e x sebenarnya, tapi karena lo ada urusan dan gue lagi pengen berbaik hati, gue biarin lo pergi,” ucapnya, acuh.
Mia melipat bibirnya sebelum kembali berujar. “Kalau gitu, aku berangkat sekarang.”
Dengan kaca mata oval yang telah terpasang di wajah cantiknya, Mia melangkah keluar dari apartemen mewah yang mereka tempati bersama selama lima tahun ini. Mia meninggalkan bangunan tersebut menggunakan mobil pemberian Willy.
“Anda sudah ditunggu,” ucap maid yang membantu Mia menuju ruang kerja pribadi bosnya setelah dia sampai di rumah mewah, namun terlihat minimal dan hangat dengan warna putih dan coklat kayu.
Sejak awal Mia melamar, dia tidak tahu di akan bekerja untuk siapa dan dia tidak mencari tahu lantaran lowongan ini dia dapat dari teman satu profesinya. Mia sangat yakin jika ini bukan penipuan karena nama perusahaan yang memang familier, namun tidak dengan pemiliknya. Mia pernah bertanya pada temannya tentang siapa pemilik perusahaan tersebut, namun dia sendiri tidak tahu.
Setelah mengucapkan terima kasih, maid tersebut meninggalkan Mia sendirian yang tiba-tiba diserang perasaan gugup dan ragu. Menyingkirkan perasaan tersebut, tangan Mia yang tak memegang handbag pun mengetuk pintu di depannya.
“Masuk!”
Tubuh Mia membeku seperti malam tadi, saat dia merasa seseorang yang dia kenali berada di klub yang sama dengan yang dia datangi dan orang itu sedang menatapnya, namun Mia tidak tahu siapa orang itu. Hal itu pun kembali terjadi saat ini, Mia merasa kenal dengan suara berat dan serak itu, namun dia tidak ingat siapa pemilik suara itu.
Tak ingin berlarut dalam situasi yang membingungkan, Mia pun menekan engsel pintu dan membukanya tanpa hambatan. Tidak hanya membeku, kedua mata Mia pun membola dari balik sun glasses yang dia pakai ketika melihat wajah yang sangat dia kenal walaupun tidak lagi bertemu untuk waktu yang sangat lama.
“Hai, Mia,” sapanya dengan suara yang khas dan terdengar ramah, namun dengan alis kiri yang terangkat dan salah satu sudut bibir yang tertarik, membuat sapaan itu seperti memiliki maksud lain.
“Masuklah, kamu sudah menghabiskan 60 detik yang berharga dengan berdiam seperti patung di sana,” ucapnya lagi.
Mia masih belum dapat memproses hal yang baru saja terjadi, membuatnya masih berdiam di tempatnya dan tubuh perempuan itu pun terasa menempel pada ubin yang dia pijak.
“Apa sekarang kamu tuli?” tanyanya dengan nada ramah, namun terdengar menusuk.
Mia berdeham untuk menyadarkan dirinya sendiri, menutup kembali pintu seperti semula lalu melangkah mendekat dengan handbag yang dia pegang dengan erat. Semakin dekat, semakin sulit Mia untuk menghirup oksigen, lantaran setiap langkah yang dia buat terus diawasi oleh mata t a j a m pria bernama Mike Pradana.